- Advertisement -

BGST Carita Wargi Bandung: Jelangkung Pembawa Petaka

Berita Lainnya

CARITA, infobdg.com – Ritual Jelangkung sempat dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, ritual ini turut diramaikan oleh film horor dengan judul serupa. Dalam prosesinya, tidak sembarang orang bisa melakukannya dan tidak sembarang pula hal tersebut dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Alih-alih berinteraksi dengan makhluk gaib, malah petaka yang diundang.

Wargi Bandung juga mengenal ritual Jelangkung kan? Untuk ku ritual ini sempat ramai dibicarakan pada zaman aku masih di sekolah dasar awal tahun 2000-an. Ritual ini dipopulerkan oleh film Jailangkung yang sangat terkenal saat itu. Saking terkenalnya banyak orang yang iseng melakukan ritual tersebut dan bisa dibilang aku pun pernah melakukannya. Tapi bagi ku ada kenangan kelam tersendiri saat melakukan ritual tersebut, siapa sangka hal yang dikira hanya sebuah permainan biasa bisa membawa celaka pada pelaku dan orang terdekat. Berikut akan aku ceritakan pengalaman kelam saat bermain Jelangkung.

Saat ritual Jelangkung ramai, aku masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Suatu hari salah seorang dari temanku yang berinisial Rizal mengajak ku dan empat orang teman sekelas kami iseng mencoba ritual Jelangkung. Memang sedikit khawatir pada awalnya namun kita semua tidak menghiraukan dan menganggap itu hanya permainan biasa saja dan diam-diam berencana melakukan permainan tersebut di sore hari sepulang sekolah di halaman belakang sekolah yang sering kali sepi dan bebas pengawasan guru.

Jika merujuk pada Jelangkung seperti dalam fim, Jelangkungnya terbuat dari sebuah gayung air yang umumnya terbuat dari tempurung kelapa yang didandani pakaian dan bergagang batang kayu nantinya berfungsi sebagai media yang digunakan untuk menampung makhluk halus atau entitas supernatural yang dipanggil dalam permainan. Karena pada saat itu kami berenam tidak memiliki kesiapan, jadi kami hanya membuat Jelangkung secara sederhana dari ranting pohon jatuh yang ada di sekolah dan selembar kain lusuh yang ditemukan di kelas kami. Tidak lupa kami pun mengikatkan sebuah pensil dibagian bawah patung jelangkung dan kertas polos sebagai alasnya guna media untuk menuliskan apa yang akan disampaikan oleh mahluk halus yang dipanggil.

Dibutuhkan dua orang yang memegang patung jelangkung, saat itu aku dan Nina bertugas memegang erat ‘badan’ dari patung jelangkung, satu orang yang bertugas membaca mantra yaitu Rizal selaku penggagas. Mantra pun dibaca “Jelangkung jelangsat, di sini ada pesta, pesta kecil-kecilan, jelangkung jelangsat, datang tak dijemput, pulang tak diantar.” secara berulang-ulang hingga dirasa sebuah sosok/makhluk telah merasuki patung jelangkung. Menurut film patung yang dirasuki akan bergerak untuk berkomunikasi dan pada saat itu kita bisa bertanya apa pun dan pertanyaan tersebut akan dijawab dengan alat tulis yang diikat di bawah patung tersebut.

Kita semua sangat fokus dan sempat ‘merasakan’ adanya tarikan dari patung jelangkung, namun nampaknya tidak begitu kuat dan karena keadaan yang pada saat itu cukup berangin, kami berenam pun menyerah dan memutuskan untuk mencobanya lagi di lain kali.

Beberapa hari kemudian kami berenam berencana melakukan ritual Jelangkung lagi, namun kali ini persiapan kami lebih matang. Patung Jelangkung kami buat dengan bahan persis menyerupai seperti dalam film. Batang kayu silang dan tempurung kelapa sebagai kepalanya tidak lupa dikenakan ‘baju’ dari baju bekas, bagian bawahnya kita ikatkan kapur sebagai media tulis menggantikan pensil karena kertas yang digunakan sebagai alas akan mudah tertiup angin dan bergeser. Sebagai gantinya kami membuat bagian alasnya dengan lantai yang digambarkan sebuah lingkaran dengan tulisan mantra yang melingkar dan berulang lalu menyisakan area kosong pada tengahnya. Di bagian terluar lingkaran, kita tambahkan beberapa lilin secara melingkar, rencananya kami berenam akan duduk melingkar diantara lingkaran tulisan mantra dan lingkaran lilin sebagai lingkaran terluar.

Dengan persiapan ‘ritual’ yang jauh lebih baik kami berenam pun sangat bersemangat dan merasakan keseriusan ritual jelangkung ini. Dua orang pemegang patung kali ini adalah Bela dan Ikhsan, mereka duduk berseberangan, Rizal seperti biasa yang memimpin membaca mantra dan sisa aku, Nina, Devi turut membacakan mantra dan permainan pun dimulai.

“Jelangkung jelangsat, di sini ada pesta, pesta kecil-kecilan, jelangkung jelangsat, datang tak dijemput, pulang tak diantar.” kami mengucapkan mantra tersebut berkali-kali, lalu setelah beberapa saat Bela dan Ikhsan merasakan sesuatu seperti merasuki patung jelangkung dan mulai menggerak-gerakan secara tidak beraturan, pada saat itulah kami mulai melontarkan pertanyaan “Siapa namamu?” dan kami pun dengan antusias menunggu jawaban dari sosok tersebut namun yang tertulis hanyalah coretan yang sulit terbaca, bingung, namun kami pun memutuskan menanyakan pertanyaan berikutnya dengan lebih rinci agar memudahkan “Adakah orang yang kamu tidak suka? tuliskan inisialnya” lalu patung yang dipegang Bela dan Ikhsan pun seolah dirasuki energi yang besar yang berusaha mengendalikan keduanya untuk menuliskan sebuah inisial dengan tulisan yang agak bengkok bertuliskan huruf Y.

Melihat jawaban tersebut kami merasakan perasaan campur aduk, antusias, merinding dan bingung, mencoba menerka apa dan siapa yang sosok tersebut maksudkan. Selanjutnya kami melakukan beberapa percobaan lagi dan mendapatkan jawaban yang cukup random.

Setelah ritual itu berlalu awalnya tidak terjadi apa-apa dan memang kami hanya menganggapnya sebagai permainan biasa saja tapi beberapa hari kemudian mulai terjadi rentetan kejadian aneh di sekolah kami. Seorang siswi sempat ketakutan saat melihat patung anatomi tubuh di laboratorium bergerak dan bergeser sendiri, selanjutnya seorang siswi lagi menangis (kerasukan) dan menolak untuk pulang di kelasnya dan menurutku yang paling membuatku dan 5 orang teman lainnya merinding dan merasa bersalah adalah saat kami digemparkan dengan seorang teman sekelas kami yang tiba-tiba dibopong oleh guru untuk segera diantarkan ke rumah sakit. Rupanya temanku ini berlari karena ia merasa melihat sesuatu di kamar mandi sekolah lalu tersungkur karena licin, nahasnya posisi lengan yang hendak menahannya dari jatuh kedepan salah dan mengakibatkan tulangnya patah. Malangnya nama temanku yang cedera ini bernama Yuni.

Semenjak kejadian mengerikan itu kami berenam terus dihantui rasa bersalah dan takut. Dengan berat hati, kami pun secara kompak merahasiakan ritual yang kami sempat lakukan. Namun, hingga saat ini kami masih bertanya sebenarnya makhluk/ sosok apa yang telah kita panggil?