- Advertisement -

Perdebatan Vaksin Impor, DPR Berencana Bentuk Pansus

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – DPR berencana membuat pansus membahas ketersediaan vaksin impor. Hal ini dikatakan anggota DPR RI, Muhammad Farhan, yang mana menurutnya dinamika vaksin tidak terjadi pada tataran lembaga, melainkan elit politik.

Ilustrasi by Humas Pemkot Bandung

“Sekarang sedang dibahas wacana pembentukan pansus vaksin impor. Saya sendiri tidak anti vaksin impor, tapi saya perlu menetapkan posisi : Vaksin dari pemerintah (Sinovac) untuk rakyat, Vaksin Nusantara tidak untuk semua orang,” ujar Farhan dalam keterangan persnya, Senin (19/4).

Hal ini bermula dari kontroversi dan perdebatan produksi vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Vaksin tersebut diketahui mendapat dukungan para tokoh, hingga adanya mantan menteri mengajukan diri menjadi relawan uji klinis.

Di sisi lain, vaksin yang disebut telah dikembangkan di Amerika Serikat ini menuai penolakan karena dinilai hanya akan diproyeksikan menjadi barang eksklusif.

Muhammad Farhan

Farhan menilai, perdebatan Komisi IX DPR dengan Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) perihal vaksin Nusantara, karena ada sentimen negatif kepada pemerintah.

“Sentimen negatif ini diwarnai dugaan tentang Mafia Impor Vaksin, walaupun belum ada bukti konkret soal itu. Keberadaan para politisi top Indonesia di RSPAD untuk uji vaksin Nusantara, bisa menjadi indikasi isu ini,” tegasnya.

Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memutuskan bahwa vaksin Nusantara tak layak mendapatkan izin uji klinis fase II. Kepala BPOM Penny K. Lukito mengungkapkan vaksin tersebut belum memenuhi syarat pengembangan obat maupun vaksin.

Syarat yang dimaksud terdiri atas uji klinis yang baik (good clinical pratical), bukti prinsip (proof of concept), dan cara pembuatan obat yang baik (good manufacturing practice). Salah satu bukti prinsip, yakni antigen yang digunakan dalam pengembangan vaksin Nusantara juga dinilai tak sesuai standar.

Terdapat pula kejanggalan menurut BPOM, seperti perbedaan lokasi penelitian dengan pihak sebelumnya yang mengajukan diri sebagai komite etik. Selain itu, BPOM menemukan perbedaan data yang mereka terima dengan paparan saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada Rabu (14/4).