- Advertisement -

Majalah Manglé Sang Ikon Media Masa Berbahasa Sunda

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – Majalah Manglé telah lama ada dan menyimpan banyak cerita, momen-momen penting dan tentunya banyak sastrawan Sunda yang terlahir darinya. Berikut ulasan singkat mengenai Manglé, sang ikon media masa berbahasa Sunda.

Tertanamnya nama Manglé sebagai nama majalah Sunda oleh masyarakat rupanya tidak lah sama dengan pemahaman dari makna Manglé itu sendiri. Sangat jarang orang Sunda khususnya, mengetahui bahwa arti Manglé adalah rangkaian bunga melati yang dijalin menggunakan benang panjang, rangkaian bunga ini biasanya dipakai sebagai hiasan sanggul pengantin.

Manglé didirikan di Bogor oleh R.H. Oeton Muchtar dan Ny. R.H.E. Rohamina Sudarmika, awal terbit pada 21 November 1957 sebagai majalah bulanan. Pada masa perintisannya Manglé dipimpin oleh dua sastrawan Sunda yang pada saat itu menjabat sebagai redaktur yaitu Saléh Danasasmita dan Wahyu Wibisana. Rupanya hal tersebut menjadikan Manglé lebih kental sebagai majalah sastra Sunda dibandingkan dengan media informasi.

Silih bergantinya sosok yang menjabat sebagai redaktur tidak menyurutkan jati dirinya sebagai majalah sastra Sunda, banyak karya seperti puisi, esai, cerpen yang selalu mengisi lembaran majalah tersebut. Beberapa sosok yang pernah menjabat sebagai redaktur Manglé yaitu Yus Rusyana, Ki Umbara, Saini K.M. dan Ami Raksanagara.

Menuju masa kejayaannya yaitu pada periode 1959 hingga 1972, Manglé banyak membenah diri untuk mewujudkan majalah terbaik sesuai dengan keinginan pembaca. Rubrikasi yang jelas dan tata letak yang baik, membuahkan bertambahnya jumlah pembaca. Pada dekade awal 1960-an majalah Manglé berhasil mencapai hingga 90.000 eksemplar dalam setiap terbitannya.

Salah satu konten dari Manglé yang selalu dinantikan oleh para pembacanya pada saat itu adalah “Mercedes 190”, sebuah cerita bersambung tentang kisah cinta antara Nenden dan Dudung karya Mh. Rustandi Kartakusumah. Pada era Rustandi pula terlahirlah generasi baru penulis Sunda serta melahirkan penulis tingkat nasional seperti Dedy Iskandar dan Aam Amalia.

Dalam perjalanannya hingga mencapai usia puluhan tahun Manglé mengalami pasang surut, namun keberadaannya didukung oleh banyak pihak, terutama ditengah ketatnya persaingan media pada saat ini. Kang Emil Gubernur Jawa Barat pun mendorong Manglé untuk hadir dalam bentuk digital. Adaptasi tersebut ditujukan untuk menarik pembaca dari kalangan generasi Z dan generasi milenial, serta kembali mendongkrak literasi masyarakat dan mempermudah akses budaya Sunda.

Sumber: Buku 200 Ikon Bandung terbitan Pikiran Rakyat

Jurnal karya Hilman Rosmana berjudul Majalah Mangle: Penjaga Kearifan Lokal dan Peranannya dalam Melestarikan Bahasa dan Budaya sunda