- Advertisement -

Menyusuri Jejak Kejayaan Keilmuan Islam di Tiga Benua, Bedah Buku ‘Journey To The Light’ Karya Uttiek M. Panji Astuti

Berita Lainnya

ARTIKEL, infobdg.com – Uttiek M. Panji Astuti, seorang jurnalis yang dikenal sebagai Islamic Travel Writer ini kembali meluncurkan karyanya.

Buku ke-6 yang ia tulis terbit dengan judul “Journey to The Light: Menyusuri Jejak Kejayaan Keilmuan Islam di Tiga Benua”.  Karya ini sekaligus merupakan waqaf literasi ketiganya.

“Seluruh royalti dari penjualan buku ini diwaqafkan untuk mahasiswa Indonesia yang tengah studi di Universitas Al Azhar, Mesir, melalui Lazismu Mesir,” beber Uttiek, pada InfoBDG, ditemui usai menggelar acara bedah buku di kawasan Jalan Hegarmanah, Kota Bandung, beberapa waktu lalu.

Buku ini sudah mulai melanglangbuana sejak Agustus 2021 dan menjadi buku incaran para pembaca peradaban Islam.

Bagaimana tidak? Dalam buku ini Uttiek menuliskan 10 madrasah yang luar biasa di tiga benua, yakni Eropa, Afrika, dan Asia, pada masa kejayaan Islam yang beberapa di antaranya masih berdiri kokoh hingga hari ini.

“Kalaulah sebuah peradaban meninggalkan jejak berupa istana yang megah, taman yang indah, itu tak benar-benar istimewa. Namun bila jejak yang ditinggalkan adalah madrasah yang luar biasa, maka bisa dipastikan tingginya narasi peradaban yang dituliskan”

Saat menyusuri jejak peradaban Islam, Uttiek begitu menikmati setiap persinggahan ke madrasah, institusi pendidikan yang menjadi bukti lekatnya Islam dengan ilmu pengetahuan.

Pada masa itu, Uttiek memaparkan madrasah bukan sekadar institusi pendidikan dasar seperti yang dikenal hari ini, namun sampai ke jenjang perguruan tinggi yang menawarkan gelar kesarjanaan.

“Saya terpekur takzim di depan Jami’ah Al Qarawiyyin atau Universitas Al Qarawiyyin, Fez, Maroko,”

Menurutnya, bukan karena intitusi pendidikan Islam itu tercatat sebagai universitas tertua di dunia, yang didirikan satu abad sebelum Universitas Al Azhar, Kairo dan tiga abad sebelum Universitas Oxford di Inggris.

Tapi lebih dari itu, universitas ini didirikan oleh seorang Muslimah bernama Fatimah Al Fikhri, di tahun 859 M, jauh sebelum Shalahuddin Al Ayyubi berhasil membebaskan Baitul Maqdis.

“Saya mentasbihkan rasa hormat melihat menara-menara Masjid Al Azhar, Kairo, yang menjulang. Menyusuri selasarnya membuat hati saya bergetar,” bebernya.

Barangkali di sudut itu dulu Sang Pahlawan Shalahuddin Al Ayyubi pernah membenamkan rukuk dan sujud panjangnya sebelum memimpin pasukan membebaskan Baitul Maqdis.

Seperti inikah dulu halaqah Imam Suyuthi? Ahli hadist yang mendedikasikan hidupnya untuk belajar dan mengajar di institusi pendidikan yang terhormat ini.

Perjalanan menyusuri madrasah-madrasah pada masa kejayaan Islam di tiga benua ini bukanlah perjalanan biasa bagu Uttiek.

Dari Madinah tempat berawal sejarah, ia meneruskan langkah ke Baitul Maqdis yang disesaki dengan banyak madrasah.

Di tempat yang hari-hari ini dinista para zionis, dulunya ternyata adalah majelis-majelis ilmu yang tak terhitung banyaknya.

“Di Cordoba saya harus menyaksikan luka. Di Bukhara saya tertegun sebagaimana Gengis Khan yang tercengang menyaksikan Kalyan Minaret yang berdiri kokoh di depan Madrasah Mir-i-Arab,” tukas Uttiek menceritakan.

Seperti apa kondisi madrasah-madrasah itu saat ini? Pertanyaan ini akan terjawab dalam buku ke-6 Uttiek M. Panji Astuti “Journey to The Light”