- Advertisement -

Pandemi, Penjahat Siber Makin ‘Panen’, RUU PDP Masih Deadlock

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – Kejahatan siber (cyber) di tanah air kian bermunculan. Mulai dari bocornya data pribadi, hingga menyasar perangkat strategis pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 ini menjadi salah satu tanda benteng pencegahan dunia maya yang mudah ditembus penjahat siber.

Ilustrasi

Hal ini ditanggapi serius oleh anggota komisi 1 DPR RI, Muhammad Farhan. Ia menjelaskan, perangkat negara yang harus diperkuat untuk melawan itu diantaranya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dengan payung hukum yang kuat, yaitu Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber Nasional.

“BSSN perlu diperkuat untuk membangun pertahanan dan keamanan siber di Indonesia. Penguatan legislasi dan anggaran negara untuk membangun jaringan pertahanan dan keamanan siber nasional,” ujar Farhan, dalam keterangan yang diterima Infobdg, Rabu (15/9).

Namun, upaya perlindungan  juga masih terkendala di DPR karena belum ada titik kesepakatan untuk mengesahkan RUU PDP.

“PDP masih deadlock karena masih ada beberapa poin yang belum disepakati oleh Pemerintah dengan Komisi 1,” katanya.

“Namun dalam tata tertib pasal pembahasan telah menghabisakan 3 masa persidangan dan dua tambahan masa persidangan. Kami ajukan agar pimpinan DPR RI dan Badan Musyawarah 9 Fraksi di DPR RI memberikan kembali kesempatan bagi menuntaskan RUU PDP,” tambah dia.

Farhan pun menuturkan, pembahasan RUU PDP yang alot berada pada belum adanya kejelasan terkait statuta pemegang otoritas penuh penindakan.

“Deadlock nya adalah status otoritas perlindungan pata apakah independen di bawah Presiden, internal Kemenkominfo, atau hybrid (bawah Presiden yang pejabatanya ditunjuk oleh Menkominfo),” terangnya.

Kemudian, belum ada kejelasan batasan jangkauan kategori data yang wajib dilindungi.

“Perdebatan apakah agregasi data pribadi termasuk salam subjek perlindungan data pribadi. Perdebatan apakah perlindungan data pribadi, selain mengatur perlindungan data elektronik juga mengatur perlindungan data non elektronik?,” tukas Farhan.

Menurutnya, dalam RUU PDP terdapat tiga kepentingan menyesuaikan dengan ekosistem digital di  tanah air. Yaitu, kepentingan bisnis, layanan publik dan kepentingan politik. Kepentingan bisnis atau ekonomi adalah kepentingan para pelaku bisnis digital yang melakukan monetasi atas data pribadi yang dikumpulkan, dikuasai, dikelola dan diolah. Baik itu untuk kepentingan bisnis iklan (adsense), konsultasi marketing ataupun direct selling.

“Kepentingan layanan publik menyangkut masalah administrasi publik untuk layanan kesehatan publik, pendidikan nasional, pendaftaran pemilihan umum, penelitian ilmiah, sensus penduduk, sensus ekonomi, sensus pertanian dan penegakan hukum. Dalam hal ini pemerintah juga berkepentingan untuk melindungi data karya hak cipta budaya, seni dan ilmiah,” jelas dia.***