- Advertisement -

Waspada Pelanggaran Pemilu 2024 di Media Sosial, Ini Yang Dilakukan Bawaslu Jabar

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 segera datang. Atas hal ini, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jabar saat ini terus melakukan upaya dalam mengantisipasi potensi kecurangan, maupun ujaran kebencian, terutama pada tahap kampanye pemilu.

Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyakarat (P2M) Bawaslu Jabar, Zaki Hilmi

Hal ini menjadi penting, terlebih metode kampanye dewasa ini mulai menyebar ke media siber, utamanya media sosial.

Ditanggapi Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyakarat (P2M) Bawaslu Jabar, Zaki Hilmi, bahwa potensi pelanggaran akan hal ini dapat dilihat dari dua hal.

Adalah pelanggaran administratif dan pidana, yang keduanya dapat mengenai peserta pemilu yang resmi, maupun masyarakat umum.

Zaki pun mengakui, bahwa pengalaman terkait hal tersebut seperti peristiwa “emak-emak” yang viral belakangan ini, yang dari segi hukum pidana telah ditangani oleh kepolisan unit khusus ciber crime atau kejahatan siber.

“Jadi dalam konteks pelanggaran ini karena tren penggunaan media sosial semakin kuat maka kampanye banyak akan dilakukan lebih menggunakan media sebagai ajang kampanye yang efektif,” beber Zaki, usai kegiatan Sosialisasi Pengawasan Siber dalam Pengawas Pemilu 2024, di Hotel Papandayan, Bandung, Selasa (18/10).

Meski begitu, Bawaslu Jabar pun tak menampik bahwa pihaknya saat ini memiliki tantangan, terlebih kendala yang cukup berat. Diantaranya adalah keterbatasan dalam hal informasi teknologi, terutama untuk menulusuri akun-akun media sosial yang bersifat anonim.

Untuk mengatasinya, Bawaslu RI akan berkoordinasi kerja sama dengan media platform yang sudah ada seperti instagram, facebook, dan lainnya agar pelanggaran kampanye di media sosial dapat diantisipasi.

“Kita menyadari betul hambatan ruang kebebasan ekspresi dalam konteks penyelenggaraan Pemilu dengan konteks penggunaan medsos beda tipis. Misalkan peserta pemilu belum ada tapi sudah ada pandangan atau stigma negatif terhadap orang yang baru menjadi bakal calon,” tukas Zaky.

Selain itu, keterbatasan Bawaslu juga ada pada regulasi. Dalam hal ini, terkait penindakan secara tegas soal terhadap pelaku pelanggaran ujaran kebencian pada medsos atau media mainstrem.

“Misalkan tabloid Indonesia Barokah itu tiba-tiba ada. Makanya kita tidak bisa menindak sepihak, kita koordinasi dengan dewan pers untuk mengkatagorikan, apakah yang meanstrem seperti itu masuk dalam karya jurnalis atau tidak,” lanjut dia.

Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ray Rangkuti

Pada kesempatan yang sama, Direktur Lingkar Madani (Lima) Indonesia, Ahmad Fauzi atau lebih dikenal sebagai Ray Rangkuti pun ikut menilai model kampanye di masa mendatang yang akan menggunakan siber, daripada media ruang.

“Media ruang akan ditinggalkan oleh hampir semua peserta Pemilu meski pun secara verbal yang diakui di dalam Pemilu kita itu adalah yang media ruang,” beber Ray.

Menurutnya, media ruang memerlukan biaya yang besar, namun efeknya tidak terlalu banyak kepada masyarakat.

“Tidak membangun emosi caleg dan para penyidik,” sambungnya.

Ray pun menerangkan, bahwa transisi kampanye ke media siber akan dipilih karena tidak memerlukan biaya yang besar, sementara daya jangkau luar biasa dan data tahan lebih lama bahkan hingga tahun 2024.

Terlebih, kampanye di media siber tidak membutuhkan narasi yang panjang dan memiliki kecendrungan kritisme yang mendahului.

“Jadi orang hanya baca yang hebohnya saja, soal benar atau tidak orang tidak baca,” papar dia.

Meski demikin, Ray menyoroti masalah yang mungkin bisa terjadi dalam kampanye media siber.

Menurutnya, kampanye di media sosial memiliki kecenderungan negatif, hoaks, dan politik identitas.

“Tantangan yang terberatnya itu hoaks dan politik identitas. Kalau negatif campaign itubagus bagus saja, itu tradisi yang harus kita tumbuhkan cuman sekarang ini ada pengaburan terhadap definisi negatif campaign menjadi hoks dan politik identitas, bahkan turun ke black campaign, itu sesuatu yang salah,” beber dia.

Oleh karena itu, Ray pun berharap, Bawaslu Jabar sebagai garda terdepan, bisa menjadi mata publik dalam konteks mensubtansi isi kampanye.

“Sehingga, kampanye dengan media siber lebih banyak berisi positif dibanding negatif, black campaign, politik identitas, maupun hoaks,” tutup Ray.***