- Advertisement -

Sering Disepelekan, Ternyata Begini Pentingnya Kesehatan Jiwa Bagi Mahasiswa

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – Masih dalam memperingati Hari Kesehatan Nasional ke-57, Ruang Empati kembali melakukan kolaborasi dengan isu kesehatan mental atau “mental health”.

Captured webinar “Menuju Kampus Sehat Jiwa”, Sabtu (20/11).

Kali ini, Ruang Empati menggandeng Fakultas Kedokteran (FK) Unjani, serta Upelkes Jawa Barat, dalam mengadakan webinar bertajuk “Menuju Kampus Sehat Jiwa”, yang dilaksanakan pada Sabtu (20/11).

Webinar ini menghadirkan beberapa narasumber, diantaranya Dekan FK Unjani Dr. Sutisno, dr., MARS., M.H.Kes., dan para dokter kesehatan jiwa yakni Dr. Arlisa Wulandari, dr.,Sp.,KJ.,M.Kes., dr. Irwanti Ichlas, Sp.KJ(K)., dr. Teddy Hidayat Sp.KJ(K)., dr. Elvine Gunawan, SpKJ., serta Dr. Ira Ardiati S.Sn., M.Sn.

Ilustrasi by Pixabay

Dalam pemaparannya, dr. Teddy Hidayat Sp.KJ(K) mengatakan, bahwa kesehatan jiwa pada mahasiswa seringkali disepelekan. Padahal, hal ini merupakan realita yang akan dihadapi mahasiswa, bahkan lebih penting daripada teori.

“Teori untuk menganalisa, tapi untuk mahasiswa, mereka tidak perlu teori, tapi perlu realita ini,” tukas dr. Teddy, dalam paparannya.

Maka, ia mendukung gerakan “Kampus Sehat Jiwa” demi terwujudnya mental yang sehat bagi masyarakat di kampus, termasuk para mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikannya.

Menuju kampus sehat, maka para penerus bangsa yang adalah mahasiswa ini perlu menjadi perhatian. Terlebih di saat pandemi saat ini, mental mahasiswa nyatanya semakin mengkhawatirkan.

Hal ini merupakan hasil daripada survey yang dilakukan oleh dr. Elvine Gunawan, SpKJ.

Dari hasil survey ia menemukan bahwa dari 3301 lebih mahasiswa, 76 persen diantaranya mengalami stress sedang, berat, hingga sangat berat.

Ilustrasi by Pixabay

Merajuk data tersebut, menurutnya para mahasiswa yang dinyatakan stress berat hingga sangat berat ini harus segera mendapatkan pertolongan pertama, yakni dengan mengakses hubungan dengan psikiater.

“Stress sedang sih masih bisa ke psikologis klinis, tapi kalau berat dan sangat berat, ini bahaya, harus sudah mengakses layanan psikiater. Ini gangguan fungsinya sudah sangat dominan, dan butuh pertolongan lebih lanjut,” jelas dr. Elvine.

Ia memaparkan, ada banyak faktor yang menyebabkan stress pada mahasiswa. Diantaranya ekspektasi, kondisi keluarga, hubungan dengan lawan jenis atau teman, hingga toxic relationship.

“Pada akhirnya mereka lelah secara emosional, lalu merasa tidak mengenali diri sendiri lagi. Mungkin kehidupannya secara fungsi sudah berantakan, dan penyelesaian tugasnya menjadi bermasalah,” tukas dr. Elvine.

Terlebih, tambah dr. Elvine, pandemi Covid-19 semakin memperburuk kondisi mental mahasiswa.

“ini juga jadi masalah karena semua serba online. Mereka tidak bisa berinteraksi secara sosial, kontak jadi terbatas, dan beban kuliah yang semakin banyak akibat PJJ. Banyak yang komplen, karena saat pendemi tugas-tugas jadi banyak, dan sulit menetapkan jam kuliah, kontak sosial jadi terbatas karena prokes,” tambahnya.

dr. Elvine menilai, hal ini tentu bukanlah yang sepele dan malah dihiraukan oleh masyarakat kampus. Tetapi, harus ada tindak lanjut terutama dari lingkungan kampus itu sendiri. Maka ia pun mengimbau seluruh kampus untuk menerapkan gerakan “Kampus Sehat Jiwa” untuk menjaga mental health para mahasiswanya.***