- Advertisement -

BGST Carita Wargi Bandung: Ada Yang Mengirimnya

Berita Lainnya

CARITA, infobdg.com – Saya adalah seseorang yang baru saja menjadi Pegawai Negeri Sipil dan bekerja setiap pagi sampai sore, bahkan bisa sampai malam. Setiap hari saya pergi bekerja menggunakan motor, tidak mengenal cuaca buruk atau cerah.

Tidak pernah ada terpikirkan dengan kejadian-kejadian aneh akan menimpa saya, karena sudah sejak SMA saya menggunakan motor. Saat itu, umur saya sudah menginjak 23 tahun dan saya adalah lulusan salah satu Universitas Negeri di Bandung. Setelah lulus kuliah saya lalu mengikuti tes CPNS dan membuahkan hasil yang bagus, saya lulus menjadi seorang PNS. Saya menjadi PNS bukan sebagai tenaga pengajar melainkan sebagai salah satu staff kedinasan. Tidak pernah sama sekali ada pikiran buruk pada siapapun saat saya lulus menjadi PNS, bahkan saudara, keluarga, dan tetangga pun turut senang dengan pencapaian saya ini.

Saya selalu pergi dari rumah jam 06.30 pagi setiap harinya atau kadang lebih pagi, saya menempuh jarak yang cukup lumayan jauh dari rumah ke tempat kerja. Karena rumah saya terletak di perkampungan di daerah Kabupaten Bandung, waktu tempuh dari rumah menuju tempat kerja sekitar 1 jam dan saya harus sudah ada di tempat kerja jam 7.30. Setelah beberapa waktu saya bekerja, saya seringkali harus lembur karena saya harus belajar banyak dalam bidang pekerjaan saya jadi bisa lebih lama berada di kantor untuk membereskan pekerjaan dan mempelajari bidang pekerjaan saya.

Waktu itu saya masih ingat di hari Selasa, saya pulang sehabis Magrib. Karena berpikir lebih tenang jika saya sholat Magrib dulu di kantor, setelah sholat saya pun langsung bergegas pulang. Dari kantor saya tidak merasakan keanehan apapun, bahkan beberapa pegawai lain pun masih berada di kantor. Saya pun langsung bergegas pulang dengan menggunakan motor.

Di perjalanan awalanya tidak ada keanehan apapun, apalagi saya pemotor sedari lama jadi terbiasa kalau pulang malam. Tidak lama tiba-tiba cuaca berubah menjadi hujan padahal di daerah kantor sorenya cerah, saya langsung berhenti dan menggunakan jas hujan. Setelah itu saya melanjutkan perjalanan untuk pulang. Dalam perjalanan pulang hujannya semakin deras dan saya melewati sebuah jembatan, jarak pandang saat itu juga terbatas karena hujan yang sangat deras jadi saya melajukan kendaraan cukup pelan karena takut ada lubang di jalan atau terpeleset karena jalanan licin. Saat saya melewati jembatan, terlihat di depan pandangan ada seorang Bapak berdiri di pinggir jalan, lokasinya persis di tengah jembatan. Dia melambaikan tangannya seolah ingin menumpang, dari jauh saya memelankan laju kendaraan dan coba untuk menepi. Saya pun berhenti di depan Bapak tersebut dan bertanya “Kenapa Pak?” tapi si Bapak tidak berkata apapun dan tetap melambaikan tangannya ke arah saya, mungkin karena hujan yang lebat saya tidak mendengar perkataan si Bapak. Tidak lama saya langsung mengajak si Bapak untuk naik motor yang saya kendarai, lalu si Bapak pun naik. Di perjalanan saya mencoba untuk mengobrol dengan si Bapak, saya pun bertanya “Bapak habis mancing ya?” karena saat itu si Bapak memang seperti membawa tas pancingan yang besar dan memang di daerah itu sering banyak orang memancing. Namun sekali lagi si Bapak tidak menjawab pertanyaan saya.

Saat saya mengendarai motor sempat terpikir bahwa kenapa si Bapak mencari tumpangannya tidak sambil berteduh di bawah pohon saja supaya tidak kehujanan, karena di daerah itu tidak banyak rumah di sekitar jembatan atau paling tidak meminta bantuannya tidak di tengah jembatan. Saat itu saya sedikit berpikir aneh lagi, kalau si Bapak habis dari bawah jembatan seharusnya si Bapak bisa diam di tepi jembatan, kalau di tengah jembatan si Bapak naik dari mana. Tapi pikiran itu saya lupakan karena tidak ada gunanya juga dipikirkan. Selang 10 menit setelah dari jembatan itu, si Bapak lalu menepuk pundak saya dan melambaikan tangan ke arah kiri, seperti kode untuk berhenti disitu dan saya pun berhenti. Di tempat itu, si Bapak turun di sebuah jalan yang penuh dengan pohon. Meskipun memang masih ada rumah di daerah situ tapi jaraknya lumayan jauh dari jalan itu, saya berpikir mungkin rumah dia masuk ke gang kecil diantara pepohonan tersebut karena memang terlihat seperti ada jalan setapak di sela-sela pohon daerah situ. Si Bapak pun turun dari motor, sambil mengucapkan “hatur nuhun den..” sembari memberikan saya uang kertas seperti pecahan 5 ribu dan 10 ribu. Saya sedikit kaget karena kenapa si Bapak memberikan saya uang, dengan spontan saya bilang “tidak usah pak, saya bukan ojek kok, saya ikhlas antar bapak”. Meskipun berkata seperti itu, si Bapak tetap memberikan uang itu dan mengepalkannya ke tangan saya, saya pun merasa tidak enak jadi uang itu saya simpan di celana jas hujan. Setelah itu saya langsung melanjutkan pulang sambil berucap “hatur nuhun Pak, mangga”.

Saya melanjutkan perjalanan pulang ke rumah yang jaraknya masih cukup jauh, di perjalanan saya tidak berpikir apa-apa. Tidak lama, saya pun sampai di rumah. Sesaat setelah di rumah, Ambu saya bertanya “Aa dari mana, jam segini baru pulang?” lalu saya menjawab “Lembur Ambu, tadi Aa beresin kerjaan dulu harus beres hari ini”, Ambu saya pun menyuruh saya untuk membersihkan badan karena cukup kuyup terkena hujan deras di jalan. Setelah saya beres membersihkan badan lalu saya makan bersama keluarga pada malam itu, di sela-sela makan malam, saya menceritakan kejadian yang terjadi saat di perjalanan. Saya bilang kepada Abah dan Ambu kalau saya tadi membonceng seorang Bapak yang sepertinya habis pulang dari memancing di daerah jembatan, saat saya menceritakan kejadian itu Abah saya sedikit heran dan bertanya “Emang si Bapaknya kaya gimana A?”. Saya pun menjawab dengan apa yang saya lihat “Ya gitu aja Bah kaya Bapak-bapak umur 65 tahun, kurus pake baju kaya pangsi terus pake topi dudukuy (topi dalam bahasa Sunda) tapi bawa tas kaya tas pancing punya Abah”.

Makan malam pun beres dan kami masing-masing kembali ke kamar, sekilas saya teringat kalau di dalam kantong celana jas hujan ada uang yang dikasih si Bapak yang menumpang, tapi karena malam itu saya malas jadi saya berpikir besok pagi saja saya ambil.

Pagi hari saya bagun kembali dan memulai untuk pergi kerja kembali, saya teringat kembali kalau di celana jas hujan ada uang, saya pun langsung memeriksa celana jas hujan saya. Ketika saya mencoba untuk mengambil uang tersebut, yang saya temukan hanya 3 lembar daun kering. Saya kaget, karena saya masih ingat kalau saat itu si Bapak memberikan uang pecahan 10 ribu dan 5 ribu yang pada saat itu dia kepalkan ke tangan saya, seharusnya kalau dari kemarin itu adalah daun, bentuknya pun sudah rusak tidak akan utuh seperti yang sedang saya pegang, apalagi daun itu kering. Lalu saya langsung memberitahukan kepada Abah dan Ambu, kejadian diberi uang itu lupa saya ceritakan semalam jadi Abah dan Ambu pun heran karena belum tau cerita sebenarnya. Setelah saya ceritakan semuanya Abah hanya bilang kalau simpan saja daun itu, bukan berarti harus mempercayai yang aneh-aneh terhadap daun itu karena takut menjadi syirik atau semacamnya. Dengan perasaan yang sedikit cemas dan takut saya pun menyimpan daun itu di lemari dalam tumpukan baju.

Tidak lama setelah kejadian itu saya pun pergi bekerja, seperti biasa pergi pagi dan pulang malam. Pada hari itu semuanya baik-baik saja, saya pulang sekitar 19.30 malam karena harus mengerjakan sesuatu lagi di kantor. Kejadian kemarin tidak saya pikirkan kembali karena cuma membuat saya cemas, saya tetap melewati jembatan tersebut karena itu memang akses satu-satunya dan selama ini tidak pernah ada kejadian apapun menimpa saya. Sesekali saat saya melewati jembatan itu saya menolehkan pandangan ke arah kiri karena merasa mungkin si Bapak kemarin ada lagi, tapi ternyata tidak. Tidak jauh dari jembatan itu, anehnya hawa tiba-tiba terasa dingin padahal cuaca seharian itu tidak hujan. Terasa sesuatu di belakang saya, motor terasa berat tapi saya tidak membawa apapun. Teringat sekilas kejadian kemarin saya lalu berkata “punten Pak ngiring ngalangkung..“. Saya berbicara dalam bahasa Sunda untuk izin lewat, dengan perasaan tidak karuan saat itu saya mencoba untuk berdoa disepanjang jalan. Setibanya di rumah saya langsung membersihkan diri dan bercerita kepada Abah kejadian yang sedikit aneh malam itu, Abah lalu berkata “Berdoa lagi A, udah sholat Isya belum?” tanya Abah. Lalu saya menjawab “Udah Bah, tapi ini kenapa ya pundak kaya pegel sebelah” keluh saya kepada Abah. Tidak lama Abah pun langsung membacakan doa di pundak saya, tak berapa lama rasa pegal itu menghilang tapi tercium aroma bau sampah dari arah motor saya yang disimpan di ruang tamu. Saat itu Ambu yang pertama kali mencium aroma itu dan Ambu berkata “Aa tadi nginjek apa? Kenapa motor teh bau?”. Saya heran karena saya tidak melewati jalanan kotor, lalu saya periksa ke arah motor dan memang benar tercium bau menyengat sampah dari motor. Saya lalu memeriksa keseluruh bagian motor tapi tidak ditemukan kotoran apapun, bahkan sampai motor saya cuci pada malam itu tapi baunya tidak hilang. Karena baunya menyebar keseluruh ruangan saya simpan motor itu di belakang, area luar dari dapur dan kamar mandi. Kami mencoba untuk membiarkan kejadian itu, tapi disekitar jam 2 malam tiba-tiba ada suara cekikik tepat dari arah motor saya di taruh. Saya adalah orang pertama yang mendengar suara itu dan sontak saya langsung membangunkan Abah yang sedang tidur. Abah bangun dan mencoba menghampiri suara itu, tapi tidak ada apapun saat diperiksa. Abah kembali ke dalam rumah, tapi suara itu muncul lagi dan terdengar lebih keras. Saat itu bukan cuma suara cekikik ketawa wanita yang terdengar tapi bergantian dengan suara tangis, saya langsung berdoa dan Abah pun kembali menghampiri. Saat di area motor Abah sambil berdoa dan berkata “Edek naon sia ka anak aing?” Abah berkata dalam bahasa Sunda karena sudah kesal dengan kejadian itu. Saya dan Ambu terus berdoa, sedangkan di rumah saat itu ada adik saya juga yang baru pulang dari rumah Bibi setelah seminggu menginap di sana. Adik saya terbangun dan menangis ketakutan karena setelah suara cekikik itu ada suara wanita yang berkata “Aing mah dititah.. aing mah dititah” dibarengi dengan suara ketawa cekikik lagi.

Tanpa ada wujud suara itu terdengar jelas seperti jauh namun cukup lantang, akhirnya karena Abah teringat dengan kejadian pagi itu saat saya menemukan daun di kantong celana jas hujan, Abah meminta saya untuk membawakan daun yang saya simpan di lemari. Tak lama saya langsung mengambil daun itu dan memberikan kepada Abah. Sambil berdoa Abah mengepalkan daun itu ditangannya dan melemparkannya ke arah suara itu, saat itu Abah sambil berkata “Indit siah, aing teu boga urusan jeung maneh..

Setelah dilemparkannya daun itu tiba-tiba berhembus angin yang cukup kencang tapi hanya selewat, lalu perlahan bau busuk dari motor pun hilang. Beberapa daun di pohon sekitar rumah bergerak keras tanpa ada angin atau semacamnya yang bisa menggerakan daun pohon itu. Kejadian itu pun berlalu, kami langsung masuk ke dalam rumah. Dini hari itu kami tidak tidur kembali, kami lalu sholat tahajud pada malam itu dan berdoa bersama. Setelah melakukan itu semua kami berkumpul dan mengobrol sambil menunggu waktu Subuh. Di waktu menunggu, Abah bercerita kalau mungkin ada yang tidak suka dengan saya karena pada saat itu si ‘makhluk’ bilang “aing mah dititah” yang artinya ada yang memerintahkan untuk menjaili saya. Dan saat itu Abah pun berkesimpulan kalau Bapak yang menumpang kepada saya waktu itu mungkin adalah Karuhun atau Sesepuh keluarga yang memberikan pesan kepada saya untuk berhati-hati. Lalu daun yang sebelumnya uang itu mungkin untuk ‘menangkal’ hal jahat yang akan menimpa saya. Percaya tidak percaya daun itu membantu untuk mengusir ‘makhluk’ yang mengganggu kami pada malam hari itu. Tanpa mempercayai apapun selain kepada Allah, kami malam itu menghaturkan doa untuk seluruh orang tua yang sudah berpulang dan para ‘sesepuh’ yang membantu mendoakan kami juga atas kejadian itu.

Story By: A.D (Carita Wargi Bandung)