- Advertisement -

Ini Kata Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad Tentang Kandidat Capres 2024

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – Meskipun masih dua tahun lagi menuju Pemilihan Presdien (Pilpres) 2024, namun partai-partai saat ini sudah mengusungkan beberapa tokoh yang dinilai layak maju sebagai calon presiden atau capres.

diskusi media bertajuk “Indonesian Politics Research dengan Tema Konvensi, Survei Atau Jalan Lain Dalam Mengusung Calon di Pilpres 2024”, di Bandung, Kamis (18/11).

Hal ini pun ditanggapi oleh  Guru Besar Ilmu Pemerintahan Unpad, Prof Muradi. Ia menjelaskan, pilihan partai dalam mengusung kandidat Pilpres 2024 harus linier, baik melalui hasil survey maupun konvensi.

“Survei dan konvensi harus linier. Kalau mau ikut konvensi, survei dulu, selesainya pun ada survei juga,” beber Prof Muradi, dalam diskusi media bertajuk “Indonesian Politics Research dengan Tema Konvensi, Survei Atau Jalan Lain Dalam Mengusung Calon di Pilpres 2024”, di Bandung, Kamis (18/11).

Ia pun mengingatkan, bahwa partai harus bisa membedah mengenai konvensi itu sendiri, apakah hal itu merupakan bagian penting dalam mencari “figur baru”.

“Ini problem tersendiri, tanpa diminta banyak hasil survey kadang ada yang bagus kadang tidak, dilematis bagi sebuah konvensi memilih capres,” jelas Prof Muradi.

Menurutnya, saat ini konteks konvensi sudah menjadi “kontes pemenangan politik”.

“Bukan ukuran sendiri, kalau di luar negeri survei itu ukuran subjektif, yang artinya kita bisa menemukan disurvei calon x nomor satu, besoknya beda lembaga bisa nomor lima urutan survei, ini terjadi di luar negeri,” paparnya.

Ia melihat, survei dimanfaatkan sebagai marketing politik. Sementara media konvensi sebagai upaya parpol calon baru.

“Kalau model seperti hari ini berat, yang menang yang mau diharapkan, yang akhirnya kebingungan karena partai terganjal parlementary threesold di DPR,” tukas dia.

Sementara apabila partai mengusung konvensi model koalisi, menurutnya hal tersebut bukan dinamakan sebagai konvensi.

“Akhirnya akan menentukan itu sosok figur problem tersndiri, keterbatasan finansial mendorong figur baru,” ujar Prof Muradi.

Menurutnya, titik lemah lembaga survei adalah melihat kerjaan dari calon atau tokoh. Ia pun menegaskan bahwa survey harus dilakukan secara obyektif.

“Ukuran survei harus obyektif. Apa jalan lainnya, saya mengusulkan partai terbuka dengan model yang baru. Misal ada calon figur menarik belum berpartai, ada RK, Anies, ini saya harap jangan partai meminang, partai merasa orang baik secara prinsipil ideologisasinya jadi gak jalan,” terang Prof Muradi.

Ia pun mengingatkan, bahwa partai harus membangun hubungan baik dengan siapapun.

“Saya menganggap model ini yang memungkinkan, ambang batas dikurangi perlu, tapi partai membuka komunikasi itu penting,” ujar dia.

Prof Muradi menilai, nama-nama seperti Anies, Andika, RK non partai, Dudung, Hadi, hingga  Gatot Numartyo merupakan nama yang “beken”. Maka dari itu, ia mengimbau partai untuk membuka komunikasi di awal untuk membangun komitmen.

“Jangan partai yang melamar, kerja partai ga muncul, ada komunikasi di awal baru lamar dan komitmen bangun dan besarkan partai. Kalau nama baru muncul, bisa memberikan pendidikan politik yang baik,” tutup Prof Muradi.***