- Advertisement -

Pusat Perubahan Iklim ITB Gelar Simposium, Bahas Refleksi Tata kelola Iklim Dalam Transisi Energi di Indonesia

Berita Lainnya

PENDIDIKAN, infobdg.com – Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (PPI-ITB) bersama Institut Jerman untuk Penelitian Ekonomi Berlin tengah melakukan proyek penelitian kolaboratif dengan tema “Memperkuat implementasi kebijakan iklim nasional: Pembelajaran empiris komparatif & menciptakan keterkaitan dengan pendanaan iklim (SNAPFI)”.

Konsorsium penelitian tersebut pun mendapat dukungan dari Kementerian Federal Jerman untuk Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir (BMU). Penelitian ini bertujuan untuk mendukung implementasi National Determined Contributions (NDC) di setiap negara dengan memberikan saran kebijakan yang terkait dengan isu-isu perubahan iklim.

Dalam kolaborasi tersebut Tim PPI-ITB melakukan penelitian di dua bidang, yakni Studi Nasional di Indonesia berfokus pada tata kelola perubahan iklim di sektor energi dan strategi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, serta Studi Internasional komparatifdi Indonesia berkonsentrasi pada pendanaan iklim dan strategi adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim.

Pada saat ini, konsorsium tersebut mengadakan kegiatan Simposium untuk mendiseminasikan hasil-hasil penelitian dan menyampaikan saran kebijakan kepada pihak-pihak yang berkaitan. Kegiatan ini dilaksanakan secara hybrid di Conference Hall Gedung CRCS ITB Lantai 2, Kampus Jl. Ganesa No.10, Bandung, dan melalui Zoom meeting.

Acara dibuka oleh Kepala PPI-ITB, Prof.Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D. Kemudian dalam acara ini disampaikan satu keynote speech oleh Dr. Heiner von Lüpke seorang peneliti senior dari DIW Berlin dengan pembahasan Topik “Perspektif Global tentang Pembiayaan Transisi Energi yang Berkeadilan”.

“Keadilan saat ini tidak adil jika hanya negara maju yang menghasilkan emisi dan negara berkembang yang hanya terkena dampak dari emisi tersebut,” ujar Prof. Ir.Djoko Santoso Abi Suroso, PhD selaku Ketua Pusat Perubahan Iklmi ITB.

Ir.Djoko menyebut, konsorsium ini digelar untuk menyebarkan hasil penelitian SNAPFI yang berkaitan dengan tata kelolaiklim Indonesia di sektor energi, Pihaknya pun ingin berbagi informasi terkait perkembangan terbaru transisi energi yang berkeadilandari tingkat internasional (UNFCCC COP 28), tingkat nasional (NDC, KEN, RUU EBT) dan tingkat lokal (masalah regional dan masyarakat).

“Kami juga ingin menyampaikan saran kebijakan ke Dewan Energi Nasional (DEN) berjudul Membangkitkan peran DEN dalam memperkuat tata kelola iklim-energi Indonesia menuju tercapainya National Determined Contributions (NDC) Indonesia,” bebernya.

Selain kedua pembicara kunci juga disampaikan paparan dari beberapa pembicara dari instansi yang terkait, yakni Herman Darnel Ibrahim,Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) dengan topik “Peran Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam transisi energi yang berkeadilan”, Tri Mumpuni, Anggota Dewan Pengarah Badan Risetdan Inovasi Nasional (BRIN) dengan topik “Kontribusi masyarakat dalam mencapai transisi energi yang berkeadilan”, Ai Saadiyah Dwidaningsih, S.T, M.T. Kepala DinasEnergi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat dengan topik “Konteks transisi energi yang berkeadilan di Provinsi Jawa Barat”, dan Niken Prilandita, anggota TimPenelitian SNAPFI PPI-ITB dengan topik “Model Tata Kelola Iklim-Energi di Indonesia”.

Sesi diskusi tersebut dipandu oleh Prof. Dr.Eng. Pradono, S.E., M.Ec.Dev. anggota Tim Penelitian SNAPFI PPI-ITB.

Perubahan iklim merupakan salah satu masalah global yang telah menjadi kekhawatiran umum dalam beberapa tahun terakhir. Untuk menghindari dampak iklim terburuk, masyarakat global perlu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) setengahnya pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi bersih (Net Zero Emission) pada sekitar pertengahan abad ini.

Pemerintah Indonesia telah menyusun Strategi Jangka Panjang untuk Karbon Rendah dan Resiliensi Iklim (LTS-LCCR) sebagai komitmen untuk mencapai Emisi Net Zero pada tahun 2060 atau lebih awal. Pada tahun 2022, Indonesia telah menyampaikan ambisi yang semakin meningkat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced NDC (ENDC) Indonesia.

Pemateri pertama dalam Simposium ini adalah Dr. Heinner Von Lupke, senior researcher DIW Berlin. Dr. Heiner menyampaikan bahwa Transisis energi dituntut cepat berkeadilan dan merata. Tahun 2020-2021, insentif pengembang Energi Baru Terbarukan belum besar, sehingga kurang ketertarikanya untuk dikembangkan oleh pihak-pihak terkait.

Lebih lanjut Dr. Niken Prilandita, sebagai tim Pusat Perubahan Iklim ITB menyampaikan bahwa kebijakan iklim memiliki panggung depan dan belakang karena adanya dualisme, karena adanya penggusaha yang menjadi penguasa.

Dokumen ENDC menunjukkan peningkatan pada target NDC, yaitu target mitigasi perubahan iklim dengan sumber daya sendiri dari 29% meningkat menjadi 31,89%, sementara dengan dukungan internasional dari 41% meningkat ke 43,20% pada ENDC.

Di Indonesia, sektor energi adalah sektor emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah sektor FOLU, menyumbang 34% dari total emisi pada 2019. Pemerintah Indonesia juga menetapkan target untuk bauran energi baru terbarukan (New Renewable Energy mix) pada tahun 2025 setidaknya 23% dan 31% pada tahun 2050. Namun, pembangunan energi terbarukan tetap lambat dan jauh di bawah apa yang diperlukan untuk mencapai target 23% energi mix pada tahun 2025.

Jika tidak ada upaya dekarbonisasi yang dilakukan di Indonesia, emisi dari sektor energi diperkirakan akan menjadi emiten terbesar pada tahun 2030, sementara sektor FOLU akan berkurang secara bertahap.

Ketua Pusat Perubahan Iklmi Institut Teknologi Bandung (ITB) pun menyampaikan, bahwa riset mengenai Geothermal sebagai salah satu EBT di Indonesia juga sudah cukup banyak dilakukan namun, yang menjadi perhatian khusus adalah kurangnya sosialisasi Geothermal di lingkup masyarakat.

“Sebelum UU panas bumi pada 2014, pemanfaatan panas bumi di area konservasi itu dilarang, namun saat ini sudah ada pembaharuan karena luasan wilayah untuk geothermal tidak terlalu besar, namun permasalahannya adalah kurangnya sosialisasi dan menyebabkan ketakutan kepada masyarakat lokal akibat dampaknya,” beber Prof Prandono.

Sebagai penutup Prof. Dr. Eng. Prandono, S.E, M.Ec.Dev, Tim SNAPFI-Pusat perubahan Iklim ITB mengajak semua elemen yang hadir untuk senantiasa saling bahu-membahu untuk mengurangi emisi dunia, terutama emisi di Indonesia.

“Mari kita berpartisipasi aktif dalam mengelola perubahan energi untuk mengurangi emisi di dunia dan Indonesia, tentu saja kami berharap adanya kerja sama ini dapat membawa perubahan bagi bumi kita, yang akan berdampak pada perubahan iklim,” tutupnya.