JAWA BARAT, infobdgcom – Wakil Ketua Komisi IV DPR meminta pembangunan jalan lintas kecamatan di Garut, Jawa Barat, yang melewati hutan lindung di Gunung Cikuray, agar dihentikan. Pembangunan jalan yang menghubungkan Kecamatan Cilawu dan Banjarsari itu dianggap menimbulkan banyak resiko.

Foto: Ilustrasi

Pernyataan itu disampaikan Dedi Mulyadi menjawab surat dari Konsorsium Penyelamatan Cikuray yang mengadukan kerusakan hutan lindung akibat pembangunan jalan lintas kecamatan.

Dedi menyebut, pembukaan jalur itu bisa menimbulkan kerusakan hutan dan ekosistem di dalamnya. Sebab, dengan adanya jalan itu, maka akses untuk pembalakan liar dan penangkapan hewan langka yang dilindungi semakin mudah.

Advertisement

“Selain itu, pembukaan jalan itu mengakibatkan risiko tumbuhnya bangunan di areal hutan secara tak kendali yang pada akhirnya berdampak pada kerusakan ekosistem dan konservasi,” kata Dedi melalui sambungan telepon, Senin (9/3).

Dampak lebih jauh dari pembukaan jalan itu, adalah munculnya berbagai bencana alam. Diantaranya bencana krisis air karena sumbernya hilang. Lalu kekeringan, banjir, longsor, dan puting beliung.

“Puting beliung terjadi karena hilangnya hutan, maka angin tak bisa dipecah. Sebab, yang mampu memecah angin adalah pohon dan bambu,” kata Dedi.

Dedi mengatakan, resiko-resiko ini harus jadi pertimbangan utama dalam sebuah kebijakan pemerintah daerah. Apalagi, kata Dedi, jika pembangunan itu belum mengantongi izin dan tidak ada Amdal, maka sebaiknya harus dihentikan.

Ia mengatakan, kalau melihat falsafah di Jawa Barat, disebutkan bahwa Prabu Siliwangi itu hilang di hutan Sancang, Garut. Prabu Siliwangi merupakan simbol penting di masyarakat Sunda.

“Artinya dari sisi peradaban sejarah Sunda, Garut itu harapan terakhir dari tata kelola ekosistem di tanah Sunda, sehingga sebaiknya pembangunan tersebut (jalan lintas) dikaji kembali,” katanya.

Dedi mengatakan, Garut harus belajar dari pengalaman banjir bandang yang terjadi di kawasan kota pada 20 September 2016. Bencana akibat meluapnya sungai Cimanuk itu menewaskan 27 orang dan merusak banyak bangunan.

Menurut Dedi, debit air Cimanuk meningkat akibat resapan air hujan di kawasan hulu minim atau rusak. Karena sungai tak mampu lagi menampung banyak air hingga mengakibatkan air meluap masuk ke kawasan perkotaan.

“Kalau mau jujur-jujuran, (bencana) itu karena rusaknya areal hutan di kawasan hulu,” tandas Dedi

Previous articleCapai 90%, Progress Pemeliharaan Anak Ayam dan Cabai Dinilai Berhasil
Next articleBandung-Yogyakarta Kembali Jajaki Kerjasama di Sektor Pariwisata