- Advertisement -

Monyet Liar Turun ke Pemukiman Kota Bandung

Berita Lainnya

BANDUNG, infobdg.com – Minggu ini, masyarakat Kota Bandung dikejutkan oleh kehadiran kawanan monyet liar yang turun ke area pemukiman penduduk. Hewan-hewan tersebut biasanya berada di hutan, namun terlihat oleh beberapa orang melompat dari satu atap ke atap lainnya di pemukiman tersebut, yang terekam oleh kamera amatir.

Dilansir oleh detikJabar, kawanan monyet ekor panjang ini pertama kali terlihat pada hari Rabu (28/2) pagi sekitar pukul 09.00 WIB, turun dari wilayah Dago Atas, Kota Bandung. Mereka kemudian menuju ke pemukiman warga di wilayah Sekeloa, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.

Setelah difoto oleh warga, keberadaan kawanan monyet sebanyak 6-8 ekor ini menjadi sorotan di media sosial. Banyak orang bertanya-tanya mengapa kawanan tersebut bisa turun dari habitat aslinya ke pemukiman penduduk.

Menurut Ketua Museum Zoologi Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB, Ganjar Cahyadi, ada tiga kemungkinan penyebab hewan primata tersebut turun ke pemukiman warga. Hal ini bisa disebabkan oleh insting alamiah untuk menghindari bahaya, ketersediaan makanan yang berkurang di habitat alaminya, atau persaingan di antara kawanan itu sendiri.

Tak hanya itu, kehadiran kawanan monyet yang turun ke pemukiman penduduk juga berpotensi mengancam keselamatan manusia jika mereka mengubah perilaku alamiahnya. Ganjar menyarankan agar warga tidak mengganggu, memprovokasi, atau memberi makan kepada monyet liar tersebut.

“Jika diberi makanan, monyet bisa jadi tidak takut lagi kepada manusia. Bahkan sebaliknya meminta-minta makanan hingga pergeseran perilaku seperti ‘mencuri’. Misalnya, ketika ada warga yang membawa tentengan, mereka mengejar karena mengira itu makanan,” katanya.

Selama tidak mengganggu dan membahayakan seperti mencakar atau menggigit, masyarakat diimbau untuk membiarkan saja hewan tersebut.
“Karena itu, jika diberi ruang seperti diberi makan, diganggu, dan disudutkan, khawatir akan mengubah perilakunya sehingga lebih mengancam manusia,” bebernya.

Meskipun demikian, Ganjar mengungkapkan bahwa hewan primata ini mungkin akan kembali ke habitat aslinya jika mereka tidak menemukan kondisi yang ideal untuk tinggal di perkotaan. “Karena secara alami mereka tinggalnya di sana, tidak di sini (permukiman warga),” ucapnya.

Ganjar juga mengusulkan untuk melakukan penelusuran lebih lanjut tentang alasan pasti mengapa kawanan monyet liar tersebut berpindah dari habitatnya ke pemukiman warga. Dia telah berdiskusi dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) terkait masalah ini.  “Jika terjadi situasi yang mengancam, diimbau warga agar melaporkan hal tersebut kepada pihak terkait, salah satunya BBKSDA Jabar untuk dapat ditangani,” tambah Ganjar.

Dari sudut pandang Walhi Jawa Barat, kasus kawanan monyet liar yang turun ke pemukiman warga di Kota Bandung mendapat sorotan tajam. Mereka menduga bahwa insiden ini terjadi karena habitat asli monyet tersebut telah terganggu oleh aktivitas manusia.

Wahyudin, Direktur Walhi Jawa Barat, menjelaskan bahwa habitat asli monyet berada di hutan. Di sekitar Kota Bandung, hutan terdekat adalah Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda, yang juga merupakan kawasan konservasi di Bandung Raya.

“Secara logika, habitat hewan yang berada di kawasan hutan, ketika dia turun, itu bisa jadi karena bahan makanan mereka terganggu. Atau, kawasan mereka itu juga terganggu. Jadi, perlu dicek kenapa kawanan hewan itu bisa turun ke pemukiman,” ujar Wahyudin saat berbincang dengan detikJabar.

Walhi juga mengkritik keberadaan Tahura Djuanda yang kini tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai kawasan konservasi alam yang murni. Wahyudin menyatakan bahwa Tahura tersebut kini mengalami perubahan drastis menjadi kawasan wisata, yang berpotensi mengganggu stabilitas ekologi di sana.

“Karena di tahun sebelumnya, kami pernah mengkritik Tahura yang membuka wisata hutan menyala. Ini kan bisa jadi jadi bentuk ketergangguan habitat ketika ada aktivitas wisata yang mengganggu tempat tinggalnya,” ucapnya.

“Kemudian hilir-mudik manusia yang masuk ke kawasan itu juga akan mengganggu habitat yang ada di situ. Bukan hanya monyet, habitat lain yang tidak kita ketahui mungkin saja bergeser karena habitatnya terganggu ini yang terkadang manusia tidak sampai meletakan bahwa habitat punya hak untuk tenang, nyaman, dan tidak terganggu. Apalagi ini kera, semakin tahun semakin menyusut populasinya ketika kawasan itu terus diganggu,” kata pria yang akrab disapa Iwank itu menambahkan.

Pasca kejadian ini, Iwank mendesak pemerintah untuk memiliki komitmen yang serius dalam mengembalikan fungsi Tahura Djuanda sebagai kawasan konservasi dan ruang terbuka hijau. Walhi juga meminta agar izin-izin wisata yang telah diberikan dievaluasi oleh pemerintah.

“Pemerintah harus mau mengevaluasi. Ini harus dianalisis, karena tidak mungkin habitat hewan itu turun ke pemukiman warga ujug-ujug kalau tidak ada intervensi aktivitas di kawasan tersebut,” bebernya.

Ternyata, keberadaan kawanan monyet ini tidak hanya terjadi dalam satu hari di Kota Bandung. Pada Kamis (29/2/2024), hewan primata tersebut kembali terlihat berkeliling di Jalan Supratman-Ahmad Yani, melompat dari atap ruko ke rumah warga.

Pihak Tahura Djuanda memberikan keterangan terkait insiden ini. Pengendali Ekosistem Hutan Tahura Djuanda, Dicky, menyatakan bahwa kemungkinan kawanan monyet ekor panjang yang masuk ke pemukiman warga bisa saja berasal dari kawasan Tahura. Namun, pada saat itu, dia belum dapat memastikan hal tersebut.

Dicky menjelaskan bahwa berdasarkan kebiasaannya, monyet ekor panjang hidup dalam kelompok dengan jumlah sekitar 20-30 ekor. Dalam kelompok tersebut, biasanya terdapat beberapa ekor pejantan yang terusir dari kelompoknya.

Menurut Dicky, di Tahura sendiri, tercatat sekitar 275 monyet ekor panjang. Dia juga mengatakan bahwa habitat monyet ekor panjang terdapat di kawasan Parongpong, Bandung Barat.

Dengan adanya jumlah monyet yang signifikan tersebut, Dicky menyatakan kemungkinan monyet dari Tahura turun ke pemukiman warga bisa terjadi. Selain itu, ada juga kemungkinan monyet liar berasal dari peliharaan warga yang terlepas atau sengaja dilepaskan.

Namun, Dicky menegaskan bahwa habitat bagi 275 monyet ekor panjang di kawasan Tahura Djuanda terjaga dengan baik. Selain itu, berbagai jenis makanan yang dibutuhkan oleh kawanan monyet juga tersedia di Tahura tersebut.

“Kalau Tahura termasuk kawasan konservasi ya jadi terjaga, untuk pakan di kawasan tercukupi karena kita ada buah-buahan hutan disini,” katanya.

Dicky juga menegaskan bahwa aktivitas hiking di Tahura dan kehadiran masyarakat tidak mengganggu habitat dari seluruh hewan yang ada di Tahura, termasuk kawanan monyet ekor panjang.

Walaupun begitu, dia menyatakan bahwa masih ada beberapa masyarakat yang mengganggu kebiasaan alami monyet dengan memberi makan. Menurutnya, hal ini dapat mengubah perilaku monyet dalam lingkungan alaminya.

“Kalau secara itu tidak mengganggu, untuk aktivitas hiking. Cuma ada yang terganggu kalau ada pengunjung suka memberi makan, itu akan merubah perilaku. Kalau dibiarkan secara alami itu perilaku tidak berubah,” kata Dicky.

“Di Tahura ada beberapa koloni yang dia suka minta makanan dan minuman pengunjung, mungkin dulunya suka diberi jadi sudah kebiasaan. Makanya kita himbau untuk tidak kasih makan monyet ekor panjang,” tambahnya.